
Kali ini aku memutuskan untuk menulis tanpa peduli kaidah SEO (hehehe, I'm sorry). Mungkin aku akan kembali merawat blog ini sebagai teman bercerita seperti saat kuliah dulu. Ya, paling tidak blog ini tidak hanya sebagai etalase pekerjaan saja. Hope you'll enjoy it!
Aku memulainya dengan menceritakan culture shock yang aku alami sejak pindah ke Pati. Untuk yang belum tahu, Pati adalah sebuah kabupaten yang berada di jalur pantura alias pantai utara Jawa Tengah. Kabupaten ini diapit dengan Kabupaten Jepara, Kudus, Grobogan, Rembang hingga Blora.

Aku pindah ke Pati sejak 2022, sudah tiga tahun. But still, beradaptasi di sini (bagiku) lebih sulit dari pada beradaptasi di Tangerang kala pertama kali aku ke sana hingga 8 tahun menetap. And I don't know why. Sebelumnya aku berasal dari Kebumen, berkuliah di Solo dan pernah bekerja di Sukabumi hingga Tangerang.
Rasanya, psikis-ku saat tinggal di Pati ini mirip seperti saat aku tinggal di Sukabumi, meski hanya satu tahun saat itu. Sulit sekali untuk bisa ada di tahap acceptance seperti sekarang. Padahal, as we know, kota asalku (Kebumen) juga bukan kota besar. But still, aku mengalami culture shock di Sukabumi dan Pati.
Ada yang merasakan seperti aku juga, by the way. Kebetulan aku juga ada teman dari luar kota yang merantau ke Pati. Mirip-mirip sih culture shock-nya. We listen (read), we don't judge, I will tell you about this.
Transportasi Kurang Memadai

Hal mendasar dan krusial yang lumayan bikin culture shock adalah kesediaan transportasi yang terbatas.
Mungkin ini menjadi rahasia umum, bahwa Pati tidak memiliki stasiun kereta api. Untuk aku yang terbiasa dari kecil kemana-mana naik kereta dari daerah asalku di Kebumen, ini lumayan bikin sedih. Kuliah di Solo ada stasiun juga. Di Tangerang ada KRL.
Meski aku memiliki kendaraan, tapi menikmati transportasi kereta memang menurutku lebih menyenangkan, praktis dan anak-anak juga nyaman. Mau naik kereta? kita harus ke Semarang dulu, which is perjalanan dengan mobil menempuh jarak sekitar 2-2.5 jam dari Pati.
Ingin naik pesawat? bisa, tapi ya lagi-lagi ke Semarang dulu. Jadi adanya apa? Adanya terminal bus, travel, ojol dan kendaraan pribadi untuk ke luar kota. Anyway, tol hanya tersedia di Demak, jadi Kudus dan Pati ya harus lewat jalan biasa bersama truk besar khas pantura dan jalannya juga sering perbaikan karena rusak berlubang (project abadi).
Harus Melewati Banjir Rob di Sayung Demak Saat Mudik
Hal kedua yang membuat culture shock adalah kami harus melintasi daerah bernama Sayung menuju pintu masuk tol area Semarang saat ingin mudik ke kampung halaman ke Kebumen dan Karanganyar (Solo Raya).Pada jam tertentu, di daerah Sayung (perbatasan Demak-Semarang) memang selalu dilanda banjir rob. Pernah kala itu mudik lebaran, as always kami mendapati banjir namun ada di dua titik. Saat itu Demak sedang mengalami jebol tanggul sungai. Jadi selain banjir rob Sayung, jalan Demak juga ada yang banjir.
Oh oya, banjir rob adalah peristiwa genangan air laut yang terjadi di daratan akibat pasang naik permukaan air laut. Biasanya fenomena ini terjadi di wilayah pesisir dan bisa mengakibatkan kerusakan infrastruktur, gangguan aktivitas ekonomi, dan ancaman kesehatan bagi masyarakat. (Source: antaranews)
Untuk mobil yang tinggi mungkin itu bukan masalah besar, but still harus dicuci sesampainya di tujuan (untuk mencegah karat). Mobilku kebetulan tipe yang 'ceper', ini membuat kami khawatir ingin menerjang saja atau berputar lebih jauh untuk mencari jalan lain.
Meski pada akhirnya kami terjang dengan suara mesin yang sudah ngos-ngosan, itu lumayan bikin trauma karena disertai hujan badai. Mudik lebaran yang paling tak terlupakan sih kala itu.
Biaya Hidup Tidak Semurah Itu, untuk UMR Segitu

Ini sedikit melenceng ya hahaha, tapi fun fact bahwa di Pati ini biaya hidupnya tidak semurah itu untuk ukuran daerah sepi di Jawa Tengah. Bahkan hampir sama dengan daerah Kabupaten Tangerang untuk hal spending money-nya (CMIIW).
Paling tidak itu sih yang aku rasakan. Aku pernah membaca di media Kompas bahwa UMR Pati 2025 ini berada di urutan ke-21 di Jawa Tengah. UMK Kabupaten Pati ada di kisaran Rp 2.332.350,-.
Dengan UMK Kabupaten Karanganyar yang lebih tinggi sedikit, namun jika ingin mencari makanan murah dan hiburan justru lebih banyak di kampung halaman suamiku itu sih.
FYI, Di Pati tidak ada mall ya. Orang Pati kalau ke mall biasanya melipir ke Kudus atau sekalian ke Semarang. Di sini adanya Luwes, ADA Swalayan dan Superindo. Tapi kalau bioskop sih ada. Namun ya seadanya dan harganya termasuk pricey untuk fasilitas yang disajikan.
Untuk yang tanya resto fast food terkenal, di sini ada apa nggak? Nggak ada guys untuk jagonya ayam dan yang hadiah happy meal-nya lucu kesukaan anak-anak itu. Hanya ada brand pizza yang terkenal. HokBen juga tidak ada di sini. Tapi kalau cari resto atau cafe pricey macam fine dining banyak sih di Pati.
Kurangnya Hiburan dan Wisata yang Memadai

Ini juga personal case sih. Karena di kampung halamanku Kebumen banyak wisatanya dari waduk, pantai, goa, bukit, lengkap dan aksesnya nggak jauh juga, jadi ya merasa di Pati ini minim wisatanya.
Kemudian di kampung halaman suami daerah Karanganyar juga ada Tawangmangu, ke kota Solo sangat dekat juga dan banyak event, jadi merasa di Pati ini slow living-nya ada banget dengan minim hiburan.
Belum lagi after tinggal di Tangerang. Meski hiburan mostly ke mall, atau harus melipir ke Anyer atau Jakarta untuk pantai yang bagus, tapi semua aksesnya mudah. Dan lagi di Tangerang banyak event parenting yang sering aku datangi dulu sebelum pindah dan sebelum Covid melanda.
Di Pati untuk event parenting hampir tidak ada, pilihan sangat sedikit. Aku bahkan baru join ke komunitas emak-emaknya belum lama ini. Lumayan mengobati kerinduanku saat dulu aktif di komunitas emak-emak Tangerang.
Memangnya Kamu Siapa?

Ini masalah personal juga sih hahaha, tapi aku ingin cerita. Awal pindah ke Pati aku menemukan banyak oknum yang lumayan sombong (no hard feeling). Istilahnya kalau mau ngobrol atau kenalan tersirat di wajahnya, "memangnya kamu siapa?"
Kenapa aku bilang oknum? Ya karena nggak semuanya begitu. Nggak semuanya jika berkenalan atau berteman melihat fashion, karir atau pekerjaannya apa, kamu istrinya siapa, tajir atau nggak, lulusan mana. Aku juga sudah menemukan beberapa teman yang open minded kok di sini sekarang.
Tapi memang kesan pertama tak terlupakan, karena kesan pertama bertemunya dengan oknum ini. Yang melihat kami mungkin tidak setara secara fashion dan entahlah apa yang ada di pikirannya. Meski sebetulnya temanku yang lebih tajir dan stylist dari oknum tersebut banyak banget dan malah mostly lebih down to earth.
Selain itu, nampaknya orang di sini tidak paham bahwa gerbang aktif untuk keluar masuk penghuni rumah tidak boleh untuk parkir. Nyatanya tetanggaku yang kebetulan tamunya super banyak selalu parkir sembarangan. Sungguh dzolim :(
Mungkin memang hidup di kabupaten sebetulnya lebih sulit dari di kota besar yang memiliki beragam latar belakang. Kalau di kabupaten apalagi oknum yang tidak pernah merantau ke luar daerah bisa jadi menanggap bahwa mereka yang paling keren di lingkup mereka. I don't know. Now, I don't care, aku sudah menemukan teman yang baik di sini. Bye, toxic people!
Hikmahnya Ada Juga Kok! Ini Dia.....
Meskipun begitu, setiap daerah pasti ada plus minusnya. Mungkin apesnya aku bertemu oknum menyebalkan in my first impression saat pindah ke Pati. Mungkin kalau ketemu yang baik dan open minded terlebih dahulu ya artikel ini nggak akan tercipta.
Hikmahnya ada kok, salah satunya adalah akses pendidikan yang baik. Meski bukan sekolah unggulan dan mahal seperti teman-teman yang lain, namun lingkungan slow living lumayan membantu tumbuh kembang anakku menjadi sesuai usianya.
Terkadang membesarkan anak di kota besar lebih banyak tantangannya kan? Nah menjadi anak kabupaten ternyata tidak seburuk itu. Meski tetap sih harus pilih lingkungan yang baik juga untuk anak.
Membesarkan anak di kabupaten lebih relate dengan kami selaku orang tuanya yang dulu juga besar di kabupaten. Jadi lebih bisa mengerem badai pergaulan, lebih bisa mengerem gaya hidup dan semacamnya. Ini salah satu hal yang aku syukuri.
Dengan bertemunya oknum menyebalkan di awal pindah, hikmahnya adalah aku menjadi lebih effort untuk dress well. Minimal rapi saat di luar rumah untuk menjaga nama baik suami dan anak-anak. Hahaha.
Hikmah lainnya adalah aku menjadi merasa cukup. Tidak perlu lagi punya banyak teman jika tidak jadi diri sendiri. Jadi, berinteraksi seperlunya dan berelasi seluasnya.
Anyway artikel ini tercipta dari POV perantau yang ke Pati tanpa kenal siapapun ya. Tanpa ada saudara, dan harus berkenalan dari nol untuk menciptakan ekosistem teman baru. Suami juga bukan PNS atau BUMN yang memiliki perkumpulan istri. Kami perusahaan swasta, jadi betul-betul since zero. :')
Last but not least, Allah menempatkan kita dimanapun bukan tanpa sebab. Tugas kita adalah beradaptasi, menerima dan memetik hikmah apa yang ingin Allah katakan pada kita, hamba-Nya. Semoga kita bisa melewati badainya dan berdamai dengan keadaan hingga bisa membangun keindahan taman kita sendiri.

See you! Thank you sudah membaca artikel tidak penting ini sampai akhir yang menceritakan culture shock yang aku alami saat awal pindah ke Pati dari Tangerang. Semoga hari kalian menyenangkan! Jangan lupa bahagia. :)
Posting Komentar
Posting Komentar